karya Idhamsyah Eka Putra
(Depok: Insos Books, 2011)
Oleh: HD.Bastaman
Waktu saya berusia 5 tahun dan tinggal di kampung, sekitar tengah malam saya dibangunkan terburu-buru dan digendong keluar rumah, lalu diturunkan di halaman dan selanjutnya didekap erat oleh kakak saya yang perempuan. Banyak sekali orang di sana dan barang-barang dari dalam rumah pun cepat-cepat dikeluarkan dan digeletakkan di halaman yang dijaga oleh para tetangga. Suasana pun hiruk pikuk dengan teriakan-teriakan orang-orang yang berlarian ke sana ke mari. Sangat membingungkan dan menakutkan.Apa yang terjadi? Ternyata bagian belakang rumah paman saya yang bersebelahan dengan rumah orang tua kamikebakaran dengan kobaran api menjulang. Betapa tidak, bangunan itu adalah dapur merangkap tempat untuk membuat minyak kelapa. Dengan cara pemadaman tradisional yaitu guyuran air dan lontaran batang-batang pohon pisang kobaran api itu berangsur-angsur mengecil dan tinggal bara-bara merah pada tiang-tiang bangunan. Bara-bara itu punakhirnya dapat dipadamkan dan menyisakan kepulan asap yang menyesakkan. Hampir dini hari barulah kami dapat masuk ke dalam rumah, tetapi ibu saya dan beberapa pembantu rumah tiap sebentar mendatangibekas kebakaran itu dengan masing-masing membawa ember berisi air untuk mematikan api yang sewaktu-waktu muncul kembali dari kepulan asap. Saya kira semalamanbeliau tidak tidur.
Pengalaman masa kecil itulah yang terbayang kembali dalam ingatan saya selesai membaca “Api di Nusantara”: kobaran api menjulang, merahnya tiang-tiang membara dan kepulan asap menyesakkan setelah bara padam diguyur air. Novel futuristik 247 halaman dengan warnahitamsebagai warna dasar cover-nya dan judul “Api di Nusantara” berhuruf putih dibentuk kobaran api dan noda-noda merah serta bola dunia berasap dengan peta Nusantara berwarna merah sebagai pusatnya digenggam “jari-jari raksasa” yang muncul dari kegelapan,sungguh memberi kesan mencekam dan tidak nyaman.Dengan melihat disain dan ilustrasi cover-nya, secara fenomenologis kitasudah merasakan apa kira-kira suasana batin isinya. Yaitu seputar suasana kelam,kejam, mencekam dan menyesakkan dengan ancaman mengerikan sebuahkekuatan misterius.Dan ternyata novel ini isinya tak jauh berbeda dari kesan fenomenologis ilustrasi covernya!
Novel ini, yang ditulis pendek-pendekdalam format seperti “buku harian” lengkap dengan tanggal, bulan, tahun, jam, menit dan detiknya, menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi antara 21 November 2022 s/d 01 Juli 2023 seputar serbuan militer Amerika Serikat dan Australia ke ibu kota RI atas nama pasukan koalisi PBB.Ceritanya dimulai dari rekrutmen para eksekutif muda untuk ikut latihan wajib militer intensif dalam rangka bela negara.Dan para wamil yang latihannya baru setengah jalan ini terpaksa diterjunkan langsung bersama TNI dalam pertempuran untuk menghadang serbuan tentara koalisi yang lengkap dan canggih persenjataannya. Akibatnya bisa diduga,Batalion 442 tempat para wamil bergabung hancur total dengan hanya menyisakan beberapa orang yang kemudian menjadi tokoh-tokoh utamanovel ini.
Dalam novel ini diungkapkan pula pihak-pihak yang terlibat yaitu Kepala Negara dengan Garda Kepresidenannya yang sama-sama ekstrim fanatik terhadap ideologi islam, Partai Jalan Kebenaran (PJK) pendukung presiden, kelompok gerakan dibawah tanah yang anti pemerintah totaliter, ABRI yang patuh pada Negara, para wartawan yang haus bahan-bahan berita dan pasukan penyerbu.Dan untuk lebih meramaikannya diceritakan adanya sebuah dokumen “maha rahasia” yang dicari oleh banyak pihak. Pada akhir cerita terungkaplahmotif utama peperangan yang meluluh-lantakkan tanah air yaituadanya “komplotan politik tinggi” bersekala global yang melibatkan pimpinan Negara, para elit politik,badan-badan internasional (Bank Dunia, ASEAN)dannegara-negara besar dengan badan-badan rahasianya yang sama-sama memiliki kepentinganpribadi/kelompok dan (geo)politikatas terpecah-belahnya tanah air. Ya, kepentingan: Sebuah motivasi klasik!
Sesuai dengan urutan isinya yaitu: Bara, Sekam,dan Asap, novel ini mengungkapkan tema-tema cerita dangambaran suasana psikososiopolitikyang intensitasnya berjenjang-turun dari “bara menyala” ke “asap yang menyesakkan” melewati “api dalam sekam”. Pada “Bara” diceritakan pertempuran dahsyat yang mengerikan, kemudian pada “Sekam”ceritadialihkan pada kegiatan intel yang lebih menuntut kerja “otak” untuk menemukan jawaban atas kematian misterius petinggi partai pendukung pemerintah yang ditengarai berkaitan dengan isyu “dokumen maha rahasia”. Sekalipun dalam bagian ini tidak banyak diceritakan pertempuran dahsyat yang masih berlangsung antara pasukan TNI dengan pasukan koalisi, tetapi kegiatan intel ini tak kalahmenegangkannya, karena menghadapi bahaya besar dan ancaman-ancaman kejam. Persis ungkapan “bagai api dalam sekam”yang kalau salah langkahakanmenyebabkan kaki terpanggang bara sekam. Selanjutnya pada “Asap” diceritakan saat dokumen “maha rahasia” ditemukanyang ternyata merupakan bukti adanya penghianatan terhadap Bangsa dan Negara.Bukti itu pun kemudian dijadikan unsur penekandalamnegosiasi dengan pihak-pihak penyerbu yang terbuktiikut berperan dalam persekongkolan.Selanjutnya diceritakan upaya menegangkan saat meminta presiden meletakkan jabatan yang diikuti “perang saudara” sejalan dengan pembersihan dan pembenahan diri menyeluruh atas kondisi negara yang amburadul akibat perang. Apa diantaranya?Papua dan Maluku melepaskan diri dari RI, sebagian Kalimantan dicaplok Malaysia dan pulau Morotai dijadikan pangkalan militer Amerika Serikat.Untung Austraia masih “bermurah hati” mengembalikan Bali, NTB, Sumbawa dan Flores ke pangkuan Ibu Pertiwi. Seperti halnya asap, akhir cerita novel “Api di Nusantara” ini meninggalkan suasana menyesakkan.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas dimensi sastra dari “Api di Nusantara” atau analisis karakter tokoh-tokohnya, tetapi hanya mengungkapkankesan-kesan, pengalaman dan penghayatanpribadi saat saya membacanya.Saya mulai membaca novel ini sehabis shalat isya, berhenti menjelang subuh dan dilanjutkan tuntas sekitar jam 06.30. Memukau. Mengapa?
Pertama, cara penggambaran yang “hidup” dan dialog-dialognya segaryang dikemas dalam tulisan-tulisan pendek gaya “catatan harian” sebuah diary. Ukuran hurufnya pun tidak sampai membikin perih mata seorang berusia “Seven Up” membacanya. Tulisan dengan gaya “buku harian” ini biasanya menunjukkan pikiran, perasaan, sikap, keyakinan dan motivasi seorang pelaku melalui deskripsi tindakan nyata, bahasa tubuh, ucapan-ucapan singkat dalam dialog dan monolog.Ada kesan sederhana, lugu dan jujuryang memikat didalamnya yang kalau diuraikan agak panjang akan kehilangan daya pikatnya itu. Sebagai contoh, diskusi panjang mengenai aspek teologis dan praxis antara Suryana yang fanatik dan “die hard” atas keyakinannya dengan Pak Hilal tokoh aliansi yang “demokrat, broad minded dan senantiasa menggunakan akal sehat” menurut saya hanya memperjelas hal yang sudah jelas dari gambaran manusia-mesin ideologi seperti Suryana. Dan Pak Hilal pun seharusnya arif bahwa dialog itu sia-sia belaka.Sesuai dengan Rifki yang menganggap “debat kusir tidak akan mengarah pada kesimpulan apa pun” (hal. 85), saya setuju bila pengarang tidak menghabiskan hampir tiga halaman bukunya untuk “debat kusir” tersebut. Benar-benar tak perlu!Bahkan bagi saya agak membosankan.
Kedua, selain dialog-dialog yang lancar dan segar, pengarang sangat imajinatifdalam menggambarkan suatu situasi. Siksaan terhadap tahanan misalnyabenar-benar mengerikan. Coba bayangkan, setelah wajah tahanan dibikin tak keruan, tulang-tulang iga diretakkan dan jari-jari kaki diremukkan dengan ditindih kaki kursi yang diduduki pemeriksa, dipakailah sebuah pisau cukur untuk mengiris kulit scrotum danmencungkilkeluar testicle-nya serta membiarkan si korban terkaparmati kehabisan darah. Sebuah gambaran yang membikin para pembaca lelaki terkesiap ngeri.
Ketiga, sejak awal membaca ketertarikan saya tertuju pada deskripsi-deskripsi singkat seukuransetengah sampai satu halamangayadiaryyang sederhana dan sangat hidup. Tetapi mulai “Sekam” dan “Asap” beberapa cerita menjadi lebih panjang yaitu tanggal-tanggal:
– 06-02-2023 jam 21.16 (7 hal)
– idemjam 22.00 (4.5 hal)
– 07-02-2023jam 22.42 (8 hal)
– 09-02-2023 jam 04:48 (7.5 hal)
– 11-02-023 jam 08:02 (7 hal)
– idem, jam 19.55 (7.5 hal)
– 15-02-2023 jam 05:01 (5 hal)
Hal ini mengurangi rasa penasaran dan mengganggu keasyikan saya menduga-dugakelanjutannya seperti membaca sebuah cerita detektip.Mungkin kesannya akan lain bila deskripsi-deskripsi panjang itu dijadikan penggalan-penggalan singkat seperti semula.
Demikian pula perubahan deskripsi berformat pendek-pendek ala diary menjadi bentuk “essay” yang agak panjang untuk menjelaskan motivasi dan latarbelakang dari berbagai benturan kepentingan memberi kesan khusus. Yaitu adanya perubahan gaya menulis dari yang semula sederhana apa adanya dan kental dengan nuansa perasaan menjadi lebih complicated,intelektualistis, rasional dan gersang alakuliah seorang dosen.
Keempat, seorang pengarang novel memiliki sepenuhnya kebebasan untuk menggunakan imajinasi dan kreativitasnya dalam menyusun alur dan isi cerita, termasuk menghidup-matikan tokoh-tokoh ceritanya. Kematian Maya, Laura dan Dodik, lebih-lebih ditembak-matinya Ariel yang sudah tak berdaya oleh Mayor Reza yang berdarah dingin hanya karena Ariel diduga “mata-mata Amerika” terkesan berlebihan dan dicari-cari untuk meramaikan akhir cerita. Walaupun demikian kebebasan ini tetap harus terkendali dengan nalar sehat dan alasan yang masuk akal, karena tanpa itu mudahakan menjurus pada absurditas, bahkan melakukan play-God.
Kelima, mengakhiri sebuah novelternyata tidak selalu mudah.Saya pernah membaca novel-novel yang awalnya memikat, tetapi mengakhirinya tidak terlalu mulus, dalam artiancenderung dicari-cari dan dipaksakan serta terkesan lebay.Mungkin ada baiknya pengarangnyaperlu melakukan prinsip “Begin with the end in mind” dan menyediakan cukup waktu merenunginya.
Keenam, saya sangat terharu membaca kalimat “Kupersembahkan untuk Indonesia” pada lembar dedikasi serta “Sepatah kata dari penulis” (hal. 245) yang mengungkap keprihatinan dan kepedulian pengarang (baca: generasi muda) terhadap kondisi tanah air serta mengingatkan kita terhadap makna “Bhineka Tunggal Ika”.Cinta tanah air yang menggelora dalam diri generasi muda menjadi modal awal pembangunan kembali bangsa kita.Dalam sejarah peradaban dunia, sebuah pembaharuan senantiasa dimulai dari generasi muda seperti pengarang buku ini dan rekan-rekannya. Semoga.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saya sama sekalitidakberniat melakukan analisa karakter tokoh-tokoh ceritanya, karena saya percaya pada penulis novel inisudah melaksanaan anjuran G.W. Allport sebagai berikut:[1]
“If you are a student of psychology, read many many novels and dramas of character, and read biography. If you are not a student of psychology, read these too, but read psychology as well”.
Sebagai essayist berlatar pendidikan psikologi dan aktif sebagai peneliti di alma materdengan “Api di Nusantara” sebagai novel debutante-nya saya harap Sdr. Idhamsyah Eka Putra dapat menjadi novelist kreatif dan produktif di masa datang. Insya Allah.
Ciputat, 18 Juli 2011
[1] Allport, G.W. 1960. “Personality: a problem for science or for art?” dalam “Personality and Social Encounter”. Boston: Beacon Press, 1960: 15.