Archive for the ‘tulisan bebas’ Category

karya Idhamsyah Eka Putra

(Depok: Insos Books, 2011)

Oleh: HD.Bastaman

 

Waktu saya berusia 5 tahun dan tinggal di kampung, sekitar tengah malam saya dibangunkan terburu-buru dan digendong keluar rumah, lalu diturunkan di halaman dan selanjutnya didekap erat oleh kakak saya yang perempuan. Banyak sekali orang di sana dan barang-barang dari dalam rumah pun cepat-cepat dikeluarkan dan digeletakkan di halaman yang dijaga oleh para tetangga. Suasana pun hiruk pikuk dengan teriakan-teriakan orang-orang yang berlarian ke sana ke mari. Sangat membingungkan dan menakutkan.Apa yang terjadi? Ternyata bagian belakang rumah paman saya yang bersebelahan dengan rumah orang tua kamikebakaran dengan kobaran api menjulang. Betapa tidak,  bangunan itu adalah dapur merangkap tempat untuk membuat minyak kelapa. Dengan cara pemadaman tradisional yaitu guyuran air dan lontaran batang-batang pohon pisang kobaran api itu berangsur-angsur mengecil dan tinggal bara-bara merah pada tiang-tiang bangunan. Bara-bara itu punakhirnya dapat dipadamkan dan menyisakan kepulan asap yang menyesakkan. Hampir dini hari barulah kami dapat masuk ke dalam rumah, tetapi ibu saya dan beberapa pembantu rumah tiap sebentar mendatangibekas kebakaran itu dengan masing-masing membawa ember berisi air untuk mematikan api yang sewaktu-waktu  muncul kembali dari kepulan asap. Saya kira semalamanbeliau tidak tidur.

 

Pengalaman masa kecil itulah yang terbayang kembali dalam ingatan saya selesai membaca “Api di Nusantara”: kobaran api menjulang, merahnya tiang-tiang membara dan kepulan asap menyesakkan setelah bara padam diguyur air. Novel futuristik 247 halaman dengan warnahitamsebagai warna dasar cover-nya dan judul “Api di Nusantara” berhuruf putih dibentuk kobaran api dan noda-noda merah serta bola dunia berasap dengan peta Nusantara berwarna merah sebagai pusatnya digenggam “jari-jari raksasa” yang muncul dari kegelapan,sungguh memberi kesan mencekam dan tidak nyaman.Dengan melihat disain dan ilustrasi cover-nya, secara fenomenologis kitasudah merasakan apa kira-kira suasana batin isinya. Yaitu seputar suasana kelam,kejam, mencekam dan menyesakkan dengan ancaman mengerikan sebuahkekuatan misterius.Dan ternyata novel ini isinya tak jauh berbeda dari kesan fenomenologis ilustrasi covernya!

Novel ini, yang ditulis pendek-pendekdalam format seperti “buku harian”  lengkap dengan tanggal, bulan, tahun, jam, menit dan detiknya, menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi antara 21 November 2022 s/d 01 Juli 2023 seputar serbuan militer Amerika Serikat dan Australia ke ibu kota RI atas nama pasukan koalisi PBB.Ceritanya dimulai dari rekrutmen para eksekutif muda untuk ikut latihan wajib militer intensif dalam rangka bela negara.Dan para wamil yang latihannya baru setengah jalan ini terpaksa diterjunkan langsung bersama TNI dalam pertempuran untuk menghadang serbuan tentara koalisi yang lengkap dan canggih persenjataannya. Akibatnya bisa diduga,Batalion 442 tempat para wamil bergabung hancur total dengan hanya menyisakan beberapa orang yang kemudian menjadi tokoh-tokoh utamanovel ini.

Dalam novel ini diungkapkan pula pihak-pihak yang terlibat yaitu Kepala Negara dengan Garda Kepresidenannya yang sama-sama ekstrim fanatik terhadap ideologi islam, Partai Jalan Kebenaran (PJK) pendukung presiden, kelompok  gerakan dibawah tanah yang anti pemerintah totaliter, ABRI yang patuh pada Negara, para wartawan yang haus bahan-bahan berita dan pasukan penyerbu.Dan untuk lebih meramaikannya diceritakan adanya sebuah dokumen “maha rahasia” yang dicari oleh banyak pihak. Pada akhir cerita terungkaplahmotif utama peperangan yang meluluh-lantakkan tanah air yaituadanya “komplotan politik tinggi” bersekala global yang melibatkan pimpinan Negara, para elit politik,badan-badan internasional (Bank Dunia, ASEAN)dannegara-negara besar dengan badan-badan rahasianya yang sama-sama memiliki kepentinganpribadi/kelompok dan (geo)politikatas terpecah-belahnya tanah air. Ya, kepentingan: Sebuah motivasi klasik!

 

Sesuai dengan urutan isinya yaitu: Bara, Sekam,dan Asap, novel ini mengungkapkan tema-tema cerita dangambaran suasana psikososiopolitikyang intensitasnya berjenjang-turun dari “bara menyala” ke “asap yang menyesakkan” melewati “api dalam sekam”. Pada “Bara” diceritakan pertempuran dahsyat yang mengerikan, kemudian pada “Sekam”ceritadialihkan pada kegiatan intel yang lebih menuntut kerja “otak” untuk menemukan jawaban atas kematian misterius petinggi partai pendukung pemerintah yang ditengarai berkaitan dengan isyu “dokumen maha rahasia”. Sekalipun dalam bagian ini tidak banyak diceritakan pertempuran dahsyat yang masih berlangsung antara pasukan TNI dengan pasukan koalisi, tetapi kegiatan intel ini tak kalahmenegangkannya, karena menghadapi bahaya besar dan ancaman-ancaman kejam. Persis ungkapan “bagai api dalam sekam”yang kalau salah langkahakanmenyebabkan kaki terpanggang bara sekam. Selanjutnya pada “Asap” diceritakan saat dokumen “maha rahasia” ditemukanyang ternyata merupakan bukti adanya penghianatan terhadap Bangsa dan Negara.Bukti itu pun kemudian dijadikan unsur penekandalamnegosiasi dengan pihak-pihak penyerbu yang terbuktiikut berperan dalam persekongkolan.Selanjutnya diceritakan upaya menegangkan saat meminta presiden meletakkan jabatan yang diikuti “perang saudara” sejalan dengan pembersihan dan pembenahan diri menyeluruh atas kondisi negara yang amburadul akibat perang. Apa diantaranya?Papua dan Maluku melepaskan diri dari RI, sebagian Kalimantan dicaplok Malaysia dan pulau Morotai dijadikan pangkalan militer Amerika Serikat.Untung Austraia masih “bermurah hati” mengembalikan Bali, NTB, Sumbawa dan Flores ke pangkuan Ibu Pertiwi. Seperti halnya asap, akhir cerita novel “Api di Nusantara” ini meninggalkan suasana menyesakkan.

 

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas dimensi sastra  dari “Api di Nusantara” atau analisis karakter tokoh-tokohnya, tetapi hanya mengungkapkankesan-kesan, pengalaman dan penghayatanpribadi saat saya membacanya.Saya mulai membaca novel ini sehabis shalat isya, berhenti menjelang subuh dan dilanjutkan tuntas sekitar jam 06.30. Memukau. Mengapa?

Pertama, cara penggambaran yang “hidup” dan dialog-dialognya segaryang dikemas dalam tulisan-tulisan pendek gaya “catatan harian” sebuah diary. Ukuran hurufnya pun tidak sampai membikin perih mata seorang berusia “Seven Up” membacanya. Tulisan dengan gaya “buku harian” ini biasanya menunjukkan pikiran, perasaan, sikap, keyakinan dan motivasi seorang pelaku melalui deskripsi tindakan nyata, bahasa tubuh, ucapan-ucapan singkat dalam dialog dan monolog.Ada kesan sederhana, lugu dan jujuryang memikat didalamnya yang kalau diuraikan agak panjang akan kehilangan daya pikatnya itu. Sebagai contoh, diskusi panjang mengenai aspek teologis dan praxis antara Suryana yang fanatik dan “die hard” atas keyakinannya dengan Pak Hilal tokoh aliansi yang “demokrat, broad minded dan senantiasa menggunakan akal sehat” menurut saya hanya memperjelas hal yang sudah jelas dari gambaran manusia-mesin ideologi seperti Suryana. Dan Pak Hilal pun seharusnya arif bahwa dialog itu sia-sia belaka.Sesuai dengan Rifki yang menganggap “debat kusir tidak akan mengarah pada kesimpulan apa pun” (hal. 85), saya setuju bila pengarang tidak menghabiskan hampir tiga halaman bukunya untuk “debat kusir” tersebut. Benar-benar tak perlu!Bahkan bagi saya agak membosankan.

Kedua, selain dialog-dialog yang lancar dan segar, pengarang sangat imajinatifdalam menggambarkan suatu situasi. Siksaan terhadap tahanan misalnyabenar-benar mengerikan. Coba bayangkan, setelah wajah tahanan dibikin tak keruan, tulang-tulang iga diretakkan dan jari-jari kaki diremukkan dengan ditindih kaki kursi yang diduduki pemeriksa, dipakailah sebuah pisau cukur untuk mengiris kulit scrotum danmencungkilkeluar testicle-nya serta membiarkan si korban terkaparmati kehabisan darah. Sebuah gambaran yang membikin para pembaca lelaki terkesiap ngeri.

Ketiga, sejak awal membaca ketertarikan saya tertuju pada deskripsi-deskripsi singkat seukuransetengah sampai satu halamangayadiaryyang sederhana dan sangat hidup. Tetapi mulai “Sekam” dan “Asap” beberapa cerita menjadi lebih panjang yaitu tanggal-tanggal:

–          06-02-2023 jam 21.16 (7 hal)

–          idemjam 22.00 (4.5 hal)

–          07-02-2023jam 22.42 (8 hal)

–          09-02-2023 jam 04:48 (7.5 hal)

–          11-02-023 jam 08:02 (7 hal)

–          idem, jam 19.55 (7.5 hal)

–          15-02-2023 jam 05:01 (5 hal)

Hal ini mengurangi rasa penasaran dan mengganggu keasyikan saya menduga-dugakelanjutannya seperti membaca sebuah cerita detektip.Mungkin kesannya akan lain bila deskripsi-deskripsi panjang itu dijadikan penggalan-penggalan singkat seperti semula.

Demikian pula perubahan deskripsi berformat pendek-pendek ala diary menjadi bentuk “essay” yang agak panjang untuk menjelaskan motivasi dan latarbelakang dari berbagai benturan kepentingan memberi kesan khusus. Yaitu adanya perubahan gaya menulis dari yang semula sederhana apa adanya dan kental dengan nuansa perasaan menjadi lebih complicated,intelektualistis, rasional dan gersang alakuliah seorang dosen.

Keempat, seorang pengarang novel memiliki sepenuhnya kebebasan untuk menggunakan imajinasi dan kreativitasnya dalam menyusun alur dan isi cerita, termasuk menghidup-matikan tokoh-tokoh ceritanya. Kematian Maya, Laura dan Dodik, lebih-lebih ditembak-matinya Ariel yang sudah tak berdaya oleh Mayor Reza yang berdarah dingin hanya karena Ariel diduga “mata-mata Amerika” terkesan berlebihan dan dicari-cari untuk meramaikan akhir cerita. Walaupun demikian kebebasan ini tetap harus terkendali dengan nalar sehat dan alasan yang masuk akal, karena tanpa itu mudahakan menjurus pada absurditas, bahkan melakukan play-God.

Kelima, mengakhiri sebuah novelternyata tidak selalu mudah.Saya pernah membaca novel-novel yang awalnya memikat, tetapi mengakhirinya tidak terlalu mulus, dalam artiancenderung dicari-cari dan dipaksakan serta terkesan lebay.Mungkin ada baiknya pengarangnyaperlu melakukan prinsip “Begin with the end in mind” dan menyediakan cukup waktu merenunginya.

Keenam, saya sangat terharu membaca kalimat “Kupersembahkan untuk Indonesia” pada lembar dedikasi serta “Sepatah kata dari penulis” (hal. 245) yang mengungkap keprihatinan dan kepedulian pengarang (baca: generasi muda) terhadap kondisi tanah air serta mengingatkan kita terhadap makna “Bhineka Tunggal Ika”.Cinta tanah air yang menggelora dalam diri generasi muda menjadi modal awal pembangunan kembali bangsa kita.Dalam sejarah peradaban dunia, sebuah pembaharuan senantiasa dimulai dari generasi muda seperti pengarang buku ini dan rekan-rekannya. Semoga.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saya sama sekalitidakberniat melakukan analisa karakter tokoh-tokoh ceritanya, karena saya percaya pada penulis novel inisudah melaksanaan anjuran G.W. Allport sebagai berikut:[1]

 

If you are a student of psychology, read many many novels and dramas of character, and read biography. If you are not a student of psychology, read these too, but read psychology as well”.

 

Sebagai essayist berlatar pendidikan psikologi dan aktif sebagai peneliti di alma materdengan “Api di Nusantara” sebagai novel debutante-nya saya harap Sdr. Idhamsyah Eka Putra dapat menjadi novelist kreatif dan produktif di masa datang. Insya Allah.

 

Ciputat, 18 Juli 2011


[1] Allport, G.W. 1960. “Personality: a problem for science or for art?” dalam Personality and Social Encounter”. Boston: Beacon Press, 1960: 15.

Sinopsis

Pada tanggal 7 November 2022, Amerika Serikat dan Australia menyatakan perang di bawah panji pasukan koalisi terhadap Indonesia. Pemicu perang berawal dari kejadian bom bunuh diri 13 Mei 2022 yang terjadi di 7 negara. Diduga otak pelakunya adalah Ibrahim Santoso, Presiden Indonesia yang diusung oleh Partai Jalan Kebenaran (PJK). Tidak terima atas tuduhan yang diajukan padanya, Presiden Ibrahim siap melawan tentara koalisi. Indonesia pun dinyatakan darurat militer. Hilangnya beberapa orang petugas lapangan intelijen, membuat dinas intelijen sangat membutuhkan orang baru yang cakap. Rifki, Dodik, dan Ariel kemudian diangkat menjadi tenaga lapangan baru untuk mengungkap kasus kematian salah satu petinggi PJK dan penyebab hilangnya petugas intelijen. Awalnya kecurigaan tertuju pada kelompok Garda Kepresidenan sebagai dalang dari pembunuhan Faisal dan orang-orang intelijen. Akan tetapi misteri kembali muncul ketika agen-agen asing CIA, MI6, dan ASIS juga ikut bermain.

Judul               : Api di Nusantara

Penulis             : Idhamsyah Eka Putra

Bahasa              : Indonesia

Penerbit           : Insos Books

Publikasi          : 2011

ISBN               : 9789792266337

Harga              : Rp. 55.000

Untuk Pemesanan

Silakan hubungi:

Fajar Erikha              

(fajarerikha@hotmail.com atau 085692081021)

pesan, makna, dan simbol

Posted: November 19, 2008 in tulisan bebas
Tags: , ,

sebuah pesan, benarkah pesan yang menjadi wacana pada masyarakat adalah suatu yang tidak ada bentuk nilai di dalamnya. Benarkah pesan tersebut bebas dari kepentingan sang pembuatnya. Suatu bentuk akan memberikan makna yang berbeda tergantung dari siapa bentuk tersebut tercipta. Simbol ”A” tidak lagi menjadi simbol bagian dari huruf tetapi merupakan simbol dari merek rokok. Sehingga A telah menjadi mitos tersendiri bagi merek rokok itu, sebagai lambang rokoknya A mild.

Pesanpun yang disampaiakan dari signifier tidak akan terlihat makna jika tidak ada signified. Signified lah yang memahami mitos, signifier yang menjadi bentuk dari mitos.bartes mengatakan mitos sebagai sebuah sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Gerakan-gerakan ritual yang dilakukan orang shalat seperti melakukan berdiri, rukuk, lalu sujud, sudah tidak bisa lagi dibilang sebagai gerakan kegilaan melainkan merupakan wujud apresiasi penyembahan sang hamba kepada penciptanya. Satu kesatuan gerak tersebut telah menjadi mitos bersama dikalangan umat muslim sbagai apresiasi penyembahan kepada sang pencipta.

Sistem gerak yang dilakukan umat muslim tersebut, jika ditemukan pula kesamaan pada para pesenam, maka tentu saja pemanaannya akan berbeda. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para pesenam tersebut merupakan gerakan senam. Jadi tentu saja, pemaknaan tidak bisa lepas dari bentuk. Konsep penghambaan dalam mitos umat muslim adalah melakuka gerakan tersebut, dan itu dilakukan secara sadar oleh umat mauslim karena mereka sebagai moslim harus melakukan ritual penyembehan sepert itu.

Kemudian, apakah ada suatu pesan yang tidak memiliki makna? pastilah ada makna dibalik pesan yang disampaikan. Dalam hal ini, makna dibalik pesan inilah yang disebut mitos Mitos pada saat yang bersamaan adalah makna sekaligus bentuk. Aku adalah singa dan singa itu memakan daging dan dia juga raja hutan. Mitos singa adalah sang raja hutan yang memakan daging. Padahal selain simbol-simbol tesebut, singa mempunyai sifat-sifat dan simbol lainnya. Namun sifat dan simbol-simbol tadi belum bisa menjadi mitos, karena tanda yang sesugguhnya dari singa adalah si pemakan daging.

41 tahun lalu, adalah hari di mana peristiwa yang disebut G30S terjadi. Pada hari itu, tentusaja aku belum lahir. Berita tentang peristiwa itu kudapat bukanlah dari hasil pengalaman ku langsung tetapi berasal dari pengetahuan-pengetahuan sejarah tentang peristiwa tersebut.

Kejadian tesebut digambarkan dan disugestikan ke dalam ingatanku begitu menyeramkan dan mengerikannya. Hasilnya, mungkin dirasakan oleh anak-anak sepantaranku, yaitu sangat membenci PKI. PKI digambarkan bagainkan sosok Kanibal yang kelaparan. Siap memakan manusia mentah-mentah. Tentu saja ha tersebut tidak membuatku heran kenapa PKI itu diburu, di penjara, dan dihukum mati. Saat mendengar PKI, seperti apapun orangnya, yang sekedar ikut-ikutan, yang sudah mengideologikannya, mereka digambarkan layak untuk dibunuh. Konsep PKI yang disebarkan memang tidak boleh hidup di Indonesia karena merusak kehidupan. Pemahaman ini masih terus berkemebnag sampai saat ini.

namun, sekarang pemahamanku mempertanyakan kembali perihal kekejaman PKI. di tengah pemburuan dan pembunuhan ribuan pengikut PKI yang dilakukan oleh rezim orde baru, sebenarnya siapa yang lebih kejam, orde baru atau PKI ? apakah memang dibenarkan menghabisi ribuan nyawa orang yang diduga PKI karena membunuh hanya 6 orang. Apakah memang semua orang PKI merencanakan pembunuhan tersebut ? jangan-jangan PKI hanya dijadikan korban kekesalan para TNI yang saat itu sedang pecah antara AD dengan AU.

Kalau memang kita adalah negara berdemokrasi yang meberikan kebebasan pada setiap individu untuk berseuara lantas kenapa mereka yang berpikiran komunis tidak dibolehkan ?

Saya tidak mau berasumsi macam-macam, tetapi sebelum 65, bangsa Indonesia bukan bangsa yang pro dengan Amerika. Saat itu pun perang dingin antara Unisoviet dan Amerika sedang pecah. Awal 65 adalah permulaan dimulainya perang dingin. Dan pada saat itu berbarengan datang tenatara Indonesia lulusan Amerika (lupa sapa orangnya). Coba kita pikirkan lagi, tiba-tiba saja setelah september 65, pelan-pelan kiblat Indonesia yang mengadopsi eropa tiba-tiba saja mengadopsi langsunng pemikiran Amerika dan menghilangkan sama sekali dunia komunis. Ingat keadaan tersebut pecah setalah perang dingin dikumandangkan antara Unisoviet dan Amerika. Aku tidak tahu apakah ada permainan tingkat tinggi terhadap peritiwa G 30s PKI ini. Apakah memang murni PKI ingin melakukan KUP ? secara logis, sulit sekali aku menerimanya, karena banyak kemugkinan-kemingkinan yang kupikrkan sepertinya juga logis.

Apakah salah jika seseorang memiliki pikiran Komunis ? manakah yang lebih manusiawi, PKI yang tidak pernah membunuh dengan negara yang sudah membunuh ratusan pengikut PKI ?

Saat itu PKI adalah partai yang menempati urutan ke3. berarti apa, berarti konsep komunis memnag secara tidak langsung setidaknya bisa menampung beberapa besar penduduk Indonesia ketimabang partai-partai lainnya yang berada di bawahnya. PKI saat itu adalah partai yang begitu kuatnya, dan jaman itu memang komunis berada pada tahap popueritasnya. Jika saja aku lahir saat itu mungkin aku akan bangga menjadi seorang PKI, karena partai ku adalah partai 3terbesar.

3terbesar, coba bayangkan, berapa nyawa yang melayang untuk mehilangkan partai tersebut. Anehnya lagi, jika memang PKI ingin melakukan kudeta, dan kudeta itu gagal, masa iya PKI sebagai partai terbesar ke3 tidak berusaha melakukan perlawanan. Setidak-tidaknya akan terjadi perang gerilya yangbertahun-tahun. Perkiraan ku, pengikut PKI itu lebih besar ketimbang Aceh Merdeka. Berapa tahunkah Aceh Merdeka mengadakan perlawanan terhadap pemerintah ? lama bukan, dan pemerintah sbenar-benar kewalahan memberantasnya. Kalau begitu, kenapa PKI yang jumlahnya lebih besar ktimabng Aceh Merdeka, tetapi mudah sekali untuk diberantas. Darimanakah keanehan ini berasal ?

bingung, benar bingung aku dibuatnya. Parahnya lagi, anak keturunan dari bekas pengikut PKI pun diikut sertakan sebagai anak orang bersalah sehingga dia juga harus mendapat sangsi. Gila, ini gila, apa yang dimengerti oleh anak-anak mereka. Bagaimana bisa seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan mendapatkan ganjaran atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan ? adakah yang salah dengan anak yang lahir dari rahim seorang pengikut PKI ? siapakh yang meminta mereka untuk lahir sebagai keturunan PKI ? anak seorang raja pun tidak pernah meminta kalau dia memang ingn dilahirkan dari seorang permausuri Raja. Gila, ini benar-benar hal yang di luar dari kewajaran…

Dalam khasanah wacana mengenai feminism, tidak ada permasalahan yang sepopuler kekerasan dalam rumah tangga disamping wacana kesamaan hak. Masalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT menjadi sebuah topik yang tak kalah seriusnya setelah wacana tuntutan persamaan hak pada perempuan ditahun 1960-an, saat itu di Amerika.

Pasca 1960, data pelaporan dan data tindak kriminal mengenai KDRT setiap tahunnya semakin meningkat. Kejadian tersebut tidak hanya terjadi di Amerika yang merupakan pioneer mengenai wacana feminism, namun terjadi di seluruh dunia. Castell (2001) dalam bukunya “The Power of Identity” melaporkan bahwa sejak tahun 1960 sampai tahun 1995 pelaporan tentang KDRT pada seluruh wilayah di dunia tidak pernah turun. Di Indonesia sendiri, data KDRT tahun 2000-2003 yang dilaporkan oleh RSCM tiap tahunnya selalu meningkat.

Castell (2001) melihat adanya korelasi negatif antara keterjepitan atau semakin krisisnya dunia kepemimpinan laki-laki (patriarkal) dengan KDRT yang semakin meningkat. Terjawab oleh Castell dalam penelitiannya bahwa semakin Perempuan menyuarakan kesamaan hak, semakin KDRT akan terus bertambah. Dalam bidang sosiologi, penemuan tersebut merupakan penemuan yang menarik dan sangat krusial terhadap peluang usaha mengurangi tingkat keseriusan yang terjadi dalam KDRT. Solusi yang ditawarkan tentu saja, mencoba mengurangi porsi perempuan dalam menyuarakan haknya.

Namun demikian, permasalahan tersebut tetap belum bisa menyelesaikan keseluruhan dari penyebab terjadinya KDRT. Diperlukan pendekatan yang tidak hanya sosiologis, tetapi juga pendekatan yang lebih bersifat psikologis. KDRT memang meningkat akibat perempuan menyuarakan kesamaan hak, akan tetapi hal tersebut bukan berarti menerangkan secara holistic bahwa setiap pria memiliki peluang untuk melakukan kekerasan.[1] Tidak semua pria memiliki potensi melakukan KDRT. Hal tersebut sama dengan “tidak semua orang miskin adalah penjahat”. Banyak pria yang juga baik terhadap keluarganya, bahkan mungkin menjadi seorang bapak yang teramat peduli dengan keluarganya. Hal ini menerangkan betapa perlunya mengetahui karakteristik pelaku KDRT.

Karakteristik pelaku KDRT merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk melihat kondisi dan keberadaan figur pelaku yang potensial. Mengenal figur pelaku KDRT akan berkait erat dengan sejarah kehidupan, tempat di mana dia tinggal, serta kepribadiannya. Hasting dan Hamberger (1988), adalah tokoh awal yang berupaya mengetahui profil pelaku KDRT secara menyeluruh. Mereka telah dapat menjelaskan kepribadian para pelaku KDRT yaitu (yang biasanya) laki-laki dengan keadaan kepribadian yang kacau (personality disorder) dengan memperlihatkan level yang tinggi pada dysphoria (depresi dengan kecemasan), anxiety (kecemasan), dan somatic complaint (hal yang mempermasalahkan tubuh).

Walaupun Hasting dan Hamberger telah dapat menjelaskan karakteristik kepribadian pelaku KDRT, hasil temuan lapangan yang didapatkan oleh Hasting dan Hamberger (1988) sama sekali belumlah memberikan informasi yang akurat mengenai profil pelaku KDRT. Hasil yang didapatkan dirasa belum spesifik merujuk para pelaku KDRT. Apalagi, dari hasil temuannya, mereka gagal dan tidak menemui kejelasan sejarah kehidupan pelaku, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan umur. Mereka pun mengakui bahwa mengungkapkan profil pelaku KDRT adalah mengungkapkan sesuatu yang kompleks di mana peranan pendidikan, jenis pekerjaan, dan umur sama sekali tidak bisa dijadikan referensi.

Meneruskan hasil yang telah didapatkan oleh Hasting dan hamburger, Stordeur dan Stille (1989) menemukan lebih jelas karekateristik umum bagi pelaku KDRT. Menurut mereka, karakteristik umum yang tampil adalah bahwa mereka, pelaku, sadar atau tidak, nyata atau terselubung, meyakini peran-peran gender yang kaku yang seolah-olah membenarkan mereka untuk melakukan KDRT. Secara umum, ketika para pelaku KDRT di tes menggunakan MMPI-2 (Minnesota Multiphasic Personality Inventory-2), gambaran luas bagi pelaku KDRT adalah mereka yang memiliki lebih dari satu gejala seperti depresi, sikap yang anti sosial, rasa tidak percaya, kecemasan, serta memiliki gejala-gejala patologis lainnya. Semakin tinggi gejala patologis yang diidap pria, semakin tinggi potensi mereka untuk melakukan KDRT.

Pria dengan pengalaman masa lalu yang buruk, seperti korban dari kekerasan atau saksi bisu dari kekerasan yang dilakukan ayah kepada ibunya dapat pula memberikan sumbangan potensi sebagai salah akar pembentukan tindak KDRT (C.M. Murphy, Meyer, & O’Leary, 1993).

Sampai di sini, penjelasan mengenai profil pelaku KDRT pun hanyalah menemukan sedikit titik terang. Penjabaran dari temuan-temuan sebelumnya hanyalah memberikan gambaran secara umum profil pelaku sehingga membutuhkan penelitian lebih lanjut. Sebenarnya, Jika dikelompokan dalam sebab-sebab pelaku melakukan KDRT maka sesungguhnya ditemui setidaknya 4 sebab terjadinya KDRT, yaitu:

· Ada yang dasarnya memang telah hidup dalam budaya kekerasan, melihat kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik dan mendapatkan apa yang diinginkan. Dekat dengan ciri di atas, pelaku dibesarkan dalam disiplin bernuansa kekerasan di masa kecilnya, pada dasarnya dia adalah ‘korban’ yang kemudian mengambil pola yang sama untuk keluarganya, di masa dewasanya.

· Ada pelaku yang cederung mengambil pola coping, atau penguasaan masalah, secara kurang tepat. Misalnya dengan minum-minum, menggantungkan diri pada obat, atau berjudi ketika menghadapi masalah. Akibatnya ia menjadi sulit mejalankan tanggung jawabnya, dan memunculkan banyak masalah dalam keluarga.

· Pelaku yang lain memang tergolong orang yang tidak bertanggung jawab dan mau enaknya saja, dan kemudian menggunkan kekuatan fisik dan keuntungan posisi sosialnya untuk menekan pasangan atau keluarga

· Sebagian pelaku adalah individu ‘baik-baik’ yang melakukan kekerasan karena dihimpit tekanan yang sangat berat, yang membuatnya kehilangan kendali. Misalnya dapat terjadi pada mereka yang baru mengalami PHK, mengalami kesulitan ekonomi besar, atau mengalami sakit serius.

Ditemukannya 4 sebab terjadinya KDRT merupakan fakta penting sebagai salah satu acuan untuk menemukan dan memberikan penanggulangan sejak dini KDRT ke dalam model yang berbeda. Model pencegahan yang biasa dilakukan sebelumnya, yaitu dengan menjauhkan korban dari pelaku terasa belum bisa menjamin akan keselamatan jiwa korban. Resiko yang akan dialami korban justru akan memberikan dampak yang buruk. Pelaku akan menyalahkan korban dan memiliki dendam yang teramat kuat sehingga jika dia berhasil menemui korban kembali, resiko terluka berat atau yang terburuk yaitu terbunuh adalah resiko yang harus ditanggung korban. Keadaan demikian menjelaskan bahwa persidangan KDRT sebaiknya jangan dijadikan sebagai solusi terjaminnya tidak terulang kembali tindak kekerasan. Persidangan sebaiknya hanyalah dijadikan mediator mengingat hukum mengenai KDRT tidak kalah kompleksnya dengan karakteristik pelaku.

Konseling bagi kedua pasangan adalah saran yang lebih dianjurkan. Korban akan dikonseling mengenai penerimaannya terhadap situasi yang ada serta memberikan terapi berupa belajar untuk menenangkan diri pasca trauma. Sementara itu, pelaku kekerasan akan diberikan terapi mengenai cara mengendalikan emosi sehingga dia bisa lebih mengontrol emosi pada situasi apapun.

Tahun 2006 adalah tahun yang akan memberikan sejarah besar perihal profil pelaku KDRT. Pada tahun tersebut, Johnson, Gilcrist, Beech, Weston, Takriti, dan Freeman telah berhasil mengelompokkan karakteristik profil para pelaku KDRT. Dengan menggunakan alat ukur seperti MCMI-III (Millon Clinical Multiaxial Inventory-III), Novaco Anger Scale, RSQ (Relationship Style Questionaire), DAS (Love Scale from the Dysfunctional Attitude), Hostility Toward Woman Scale, RMAS (Rape Myth Acceptance Scale), Hipermasculinity Invetory, Perspective taking, LOC (Locus of Control Scale), Rosenberg Self-Esteem Scale, dan BIDR (Balanced Inventory of Desired Responding).

Dari hasil uji alat tes, ditemukan 4 profil pelaku KDRT, yaitu Low Pathology, Borderline, Narcissistic, dan Antisosial. Pelaku yang dikatakan sebagai low pathology (12%) adalah mereka yang kecenderungan narsistiknya paling rendah dibandingkan tiga kelompok lainnya. Mereka adalah kepribadian yang memiliki kebergantungan interpersonal yang rendah dan sikap macho (tindakan ekstrim) sangat rendah. Kelompok ini sangat jarang memiliki pengalaman kekerasan di masa lalu serta hanya sedikit memiliki kehendak untuk melakukan bunuh diri. Pelaku dengan tipe Low Pathology ini adalah tipologi yang paling jarang ditemukan.

Profil pada kelompok Borderline (28%) adalah dia yang memiliki skor tinggi pada MCMI-III, yang menandakan keadaan mereka yang depresi dan memiliki ketergantungan pada alkohol. Terlebih, di dalam kelompok pelaku KDRT, tipologi borderline didapati memiliki pemgalaman kekerasan fisik dan merupakan kelompok yang paling memiliki kecenderungan tinggi melakukan bunuh diri. Mereka juga yang paling memiliki locus of control yang bersifat eksternal (situasional yang mendukung), self-esteem yang rendah, dan memiliki tingkat kemarahan paling tinggi.

Pada kelompok yang disebut Narsistik (13%), adalah mereka yang rendah pada sikap macho tetapi memiliki respon sosial yang cukup tinggi (mudah bergaul, dan juga bersosialisasi dengan baik pada masyarakat sekitar). Secara kasat mata, cukup sulit menilai bahwa pria dengan kepribadian pada respon sosial yang baik memiliki kecenderungan untuk melakukan KDRT. Sebenarnya tidak hanya itu, lebih jelasnya mereka yang dimasukkan ke dalam kelompok narsistik adalah mereka yang juga memiliki sifat arogan dan begitu mengagungkan dirinya. Mereka juga memiliki skor pada level paranoid yang tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa profil narsistik adalah mereka yang memiliki ketakutan jatuhnya harga dirinya, dalam kasus ini tentu saja ketakutan tidak di hargai oleh anggota keluarganya.

Kemudian, kelompok yang dimasukkan ke dalam kategori Antisosial adalah mereka yang secara sosial dekat dengan kekerasan dan cenderung bersifat antisosial (47%). Kelompok ini memiliki laporan tentang perilaku buruk di masa remajanya, selalu membuat masalah di sekolah atau di luar sekolah. Dan biasanya memiliki ketergantungan yang amat tinggi pada minuman keras. Mereka pun tercatat memiliki skor tinggi pada sikap macho (ngebut-ngebutan, berkelahi, dan perilaku ekstrim lainnya) tetapi memiliki sifat narsis yang lemah. Kelompok dengan tipologi antisosial adalah kelompok yang memiliki daftar kecenderungan terhadap perilaku KDRT yang paling tinggi. Dengan memiliki laporan masalalu yang telah biasa melakukan tindak kekerasan maka melakukan KDRT bagi profil antisosial dianggapnya sebagi suatu perilaku yang wajar saja.

Sampai di sini tentu saja penelitian mengenai profil pelaku KDRT belum sampai pada masalah final yang bisa menjawab dengan pasti pelaku KDRT. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut mengenai lingkungan sekitar dan juga situasi yang juga dapat memberikan trigger kepada upaya KDRT. Hasil temuan terbaru tentu saja telah memberikan kontribusi kepada pencegahan dan penanggulangan yang akan dilakukan berbeda tergantung pada profil pelaku, yaitu low pathology, borderline, narsistik, atau antisosial.

************

Tipologi pelaku KDRT sedikit demi sedikit memang telah dapat diketahui. Namun demikian, profil yang telah diketahui tersebut hanya bisa dijadikan acuan. Kenapa demikian, hasil temuan yang didapati keseluruhannya berasal dari luar Indonesia dimana faktor budaya dan konteks yang ada begitu berbeda dengan Indonesia. Tentu saja penelitian lebih lanjut yang lebih kontekstual dan sesuai dengan keadaan Indonesia amatlah dibutuhkan. Mungkin saja sudut demografi seperti pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi ditemui perbedaannya di Indonesia, yang hasil-hasil penelitian di luar tidak ditemukan. Idhamsyah


[1] Rata-rata pelaku KDRT adalah laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan KDRT dilakukan oleh perempuan, walaupun amat jarang terjadi.