Archive for October 20, 2008

Berilah Aku Tempat

Posted: October 20, 2008 in puisi-puisi ku

Temaram itu datang menyelimuti aku kembali

Saat aku terhimpit pada kekecewaan terhadap

Hidup yang penuh absurditas

Seperti mengarahkan aku pada kegagalan

Apa yang sebenarnya akan kita lakukan

Jika titik pencapaian yang kita dambakan tercapai

“apakah kebagahagiaan itu akan terus menemanimu”

tentu tidak karena kebosanan akan melemparmu

pada titik jenuh

saat itu, apa yang akan kau lakukan

masihkah kau akan menertawai aku

jika kau telah mengerti

Mereka, mereka itu kawan…! Seperti robot saja

Mengikuti pola-pola kehidupan usang yang mungkin

Hampir tak bisa dirubah

Mereka tak berkomentar, “dasar tak berguna”

Maka terlemparlah aku pada keterasingan

Karena pola kehidupanku ternyata berbeda

Dengan budayaku yang telah terstruktur

Kawan, sudah kuceritakan dari awal

Bahwa kesadaran kita tentang kebahagiaan

Itu berbeda

Karena kita adalah sang pemikir

Lalu…! Kenapa kau menyalahkan aku

Apakah kau memang telah yakin kalau dirimu itu benar

Bahwa kata-katamu merupakan perwakilan kata-kata Tuhan

Sudah benarkah dirimu kawan

Lalu….! Kenapa kau menyalahkan aku

Terhadap pemahaman yang menurutku benar

Apakah aku bertanggung jawab pada dirimu

Lalu….! Kau bertanggung jawab pada siapa ?

Egoisnya dirimu, kawan

Kumohon

Berikanlah aku ruang untuk melakukan

Apa yang terbaik menurutku

Karena kebahagiaan yang kan kucapai berbeda

Dengan kebahagiaan yang akan kau capai

Kumohon padamu kawan

Agar aku tidak merasakan keterasingan pada

Duniaku sendiri.

Spesialisasi

Posted: October 20, 2008 in tulisan bebas

setiap orang bisa saja memilih titik berangkat dari studi bidang tertentu yang diminatinya, tapi setelah itu tidak boleh lalu menjadi tawanan dari ilmu yang diplajarinya. Mereka harus menjadi orang yan menguasai imunya, karena yang dibtuhkan oleh masyarakat adalah orang yang bisa menjadi problemsolver, bukannya orang yang setiap kali enghadapi masalah hanya bisa berpendapat menurut spesialisasi imu yang dielaarinya: sebagai ilmu ekonomi, politik, sosiologi, hukum, psikologi, & seterusnya…(yusuf sutanto)

untuk apa kita memikirkan hidup sesudah mati, sementara dalam hidup ini masih banyak ha yag harus kita pelajari ? (Konfusius) balajar untuk menjadi hidup dalam kehidupan adalah lebih penting ketimbang belajar kematian dalam dunia yang masih hidup….

janganlah kita melakukan sesuatu kepada orang lain yang tidak kita kehendaki kalau orang lain melakukan hal itu kepada kita (konfusius)

kita tidak bisa lag megembalikan masa lalu atau akan menjadi seperti diosaurus yang punah ketika zaman es mencair. Yang isa kita kerjakan adalah mempelajari hukum-hukum prubahan itu, lalu menyesuaikan diri kita untuk begaimana bisa survive dala perubahan.

Kita tidak bisa bercerita tentang lauta kepada seekor katak yang hidupnya di sumur, mahluk yang hidupnya tebatas.

Atau bicara tentang es pada serangga yang hidup semusim panas saja

Atau bercerita tentang taoisme pada guru yang lingkupnya terbatas

Sekarang kamu sendiri telah menyadari hal itu dan keluar dari lingkunganmu yang sempit melihat samudra, sehingga kamu menyadari kekuranganmu.

Sekarang telah tiba untuk bicara denganmu tentang prinsip-prinsip yang besar

Diklong langit ini tidak ada air yang lebih besar dari samudra

Semua arus bermuara terus-menerus tak henti-hentinya, tapi samudra tak pernah meluap

Meskipun terus-menerus dihisap, samudra tidak pernah kosong ataupun kering

Musim semi ataupun musim gugur tidak akan dapat membawa perubahan pada samudra

Banjir dan kering sama sekali tidak dikenalnya

Meskipun demikian saya tidak mau menyombongkan diri, karena sadar sepenuhnya bahawa semua iu adalah anugerah dari aam semesta dan kekuatan vital saya berasal dari yin dan yang

Dalam jagad raya ini, saya adalah sekecil krikil atau tanaman kecil yang berada disuatu gunung yang besar

Karena itu saya sadar atas ketidakberartian saya di tengah alam semesta ini

Dari sebab itu saya tidak mempunyai apa pun yang perlu saya banggakan (yusuf sutanto)

Mereka yang baru mendengar sebagian dari kebenaran, akan menganggap dirinya paling tahu dari orang lain (ancient wisdom)

30 Spetember 2006

Posted: October 20, 2008 in tulisan bebas

30 Spetember 2006

kira-kira 41 tahun lalu, adalah hari di mana peristiwa yang disebut G 30S terjadi. Pada hari itu, tentusaja aku belum lahir. Berita tentang peristiwa itu kudapat bukanlah dari hasil pengalam ku langsung tetapi berasal dari pengetahuan-pengetahuan sejarah tentang peristiwa tersebut.

Kejadian tesebut digambarkan dan disugestikan ke dalam ingatanku begitu menyeramkan dan mengerikannya. Hasilnya, mungkin dirasakan oleh anak-anak sepantaranku, yaitu sangat membenci PKI. PKI digambarkan bagainkan sosok Kanibal yang kelaparan. Siap memakan manusia mentah-mentah. Tentu saja ha tersebut tidak membuatku heran kenapa PKI itu diburu, di penjara, dan dihukum mati. Saat itu ketika mendengar PKI, seperti apapun orangnya, yang sekedar ikut-ikutan, yang sudah mengideologi tetap memang layak untuk dibunuh. Konsep PKI memang tidak boleh hidup di Indonesia karena merusak kehidupan. Iya, seprti keadaan pikranku yang tercipta yang mubgkin juga demikian dengan anak sepantaranku.

Sekarang aku mempertanyakan kembali, siapa yang lebih kejam, orde baru atau PKI ? apakah memang dibenarkan menghabisi ribuan nyawa orang yang diduga PKI karena membunuh hanya 6 orang. Apakah memang semua orang PKI merencanakan pembunuhan tersebut ? jangan-jangan PKI hanyalah dijadikan korban kekesalan para TNI yang saat itu sedang pecah antara AD dengan AU.

Kalau memang kita adalah negara berdemokrasi yang meberikan setiap individu untuk berseuara lantas kenapa mereka yang berpikiran komunis tidak dibolehkan ?

Saya tidak mau berasumsi macam-macam, tetapi sebelum 65, bangsa Indonesia bukan bangsa yang pro dengan Amerika. Saat itu pun prang dingin antara Unisoviet dengan Amerika pecah. Awal 65 adalah permulaan dimulainya perang dingin. Dan pada saat itu berbarengan datang tenatara Indonesia lulusan Amerika (lupa sapa orangnya). Coba kita pikirkan lagi, tiba-tiba saja setelah september 65, pelan-pelan kibal Indonesia yang mengadopsi eropa tiba-tiba saja mengadopsi langsunng pemikiran Amerika dan menghilangkan sama sekali dunia komunis. Ingat keadaan tersebut pecah setalah perang dingin dikumandangkan antara Unisoviet dan Amerika. Aku tidak tahu apakah ada permainan tingkat tinggi terhadap peritiwa G 30s PKI ini. Apakah memang murni PKI ingin melakukan KUP ? secara logis, sulit sekali aku menerimanya, karena banyak kemugkinan-kemingkinan yang kupikrkan sepertinya juga logis.

Apakah salah jika seseorang memiliki pikiran Komunis ? manakah yang lebih manusiawi, PKI yang tidak pernah membunuh dengan negara yang sudah membunuh ratusan pengikut PKI ?

Saat itu PKI adalah partai yang menempati urutan ke3. berarti apa, berarti konsep komunis memnag secara tidak langsung setidaknya bisa menampung beberapa besar penduduk Indonesia ketimabang partai-partai lainnya yang berada di bawahnya. PKI saat itu adalah partai yang begitu kuatnya, dan jaman itu memang komunis berada pada tahap popueritasnya. Jika saja aku lahir saat itu mungkin aku akan bangga menjadi seorang PKI, karena partai adalah 3terbesar.

3terbesar, coba bayangkan, berapa nyawa yang melayang untuk mehilangkan partai tersebut. Anehnya lagi, jika memang PKI ingin melakukan kudeta, dan kudeta itu gagal, masa iya PKI sebagai partai terbesar ke3 tidak berusaha melakukan perlawanan. Setidak-tidaknya akan terjadi perang gerilya yangbertahun-tahun. Perkiraan ku, pengikut PKI itu lebih besar ketimbang Aceh Merdeka. Berpakan tahukah Aceh Merdeka mengadakan perlawanan terhadap pemerintah ? lama bukan, dan pemerintah sbenar-benar kewalahan memberantasnya. Kalau begitu, kenapa pki yang sejumlah lebih besar ktimabng Aceh Merdeka, tetapi mudah sekali untuk diberantas. Di manakah keanehan ini berasal ?

bingung, benar bingung aku dibuatnya. Parahnya lagi, anak keturunan dari bekas pengikut PKI pun diikut sertakan sebagai anak orang bersalah sehingga dia juga harus mendapat sangsi. Gila, ini gila, apa yang dimengerti oleh anak-anak mereka. Bagaimana bisa seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan mendapatkan ganjaran atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan ? adakah yang salah dengan anak yang lahir dari rahim seorang pengikut PKI ? siapakh yang meminta mereka untuk lahir sebagai keturunan PKI ? anak seorang raja pun tidak pernah meminta kalau dia memang ingn dilahirkan dari seorang permausuri Raja. Gila, ini benar-benar dari kewajaran…

Tanggal 28 Oktober biasa dikenang oleh rakyat Indonesia dengan Hari Sumpah Pemuda. Pada hari itu, tepatnya tanggal 28 oktober 1928, para pemuda dari seluruh Indonesia seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura Bond, Pemuda Betawi, dll, berkumpul dan menyatakan Sumpah sebagai “bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia.”

Apa yang menyebabkan mereka berkumpul serta bersatu dan menyatukan suara sebagai bangsa Indonesia sebenarnya tidak lepas dari latar belakang penderitaan yang sama. Mereka sama-sama merasakan pahitnya menjadi bangsa yang terjajah. Pokok utama inilah yang membuat mereka sama-sama merasakan adanya kedekatan emosional, adanya keinginan bersama untuk menjadi bangsa yang merdeka. Ini pula yang menyebabkan mereka ingin bersatu, karena dengan bersatu mereka menjadi kuat, dengan bersatu cita-cita mereka akan lebih bisa terpenuhi.

Mohammad Yamin dalam pidatonya di Kongres Pemuda II mengemukakan kalau ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan bangsa Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan. Hal tersebut tentunya diperkuat pula dengan adanya musuh bersama saat itu, yakni penjajah.

Namun demikian, sudah cukupkah Sumpah Pemuda sebagai prinsip perjuangan, sebagai konsep bersama bangsa Indonesia memupuk dan memperkuat persaudaraan mereka menjadi bangsa yang satu ?

Memang, Sumpah Pemuda telah bisa membuktikan menjadi pemersatu yang sangat ampuh bagi para pemuda dalam perjuangannya melawan Belanda dan Jepang. Bahkan revolusi agustus 1945 dicetuskan dari berbagai golongan pemuda yang menjujung tinggi Sumpah Pemuda. Permasalahan perbedaan bahasa pun terselesaikan dengan penerimaan para pemuda Indonesia terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu mereka.

Akan tetapi, Sumpah Pemuda sebagai prinsip dasar perjuangan bukan berarti berdiri tanpa cacat. Ini bisa dilihat lewat saripati yang dihasilkan Sumpah Pemuda yang lebih menonjolkan satu prinsip, yakni persatuan saja. Misalnya slogan yang sering didengar seperti “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa”, adalah slogan yang sangat menonjolkan prinsip persatuan.

Sumpah Pemuda yang lebih menonjolkan persatuan sebagai prinsip perjuangan akhirnya melupakan prinsip perjuangan yang lain seperti kesetaraan (equity) dan kemerdekaan (liberty). Padahal, persatuan sebagai slogan bangsa belumlah cukup menjadi perekat yang kuat pada suatu bangsa.

Sumpah Pemuda justru akan lebih bisa dihayati dan dipatuhi kalau semua diperlakukan setara atau adil. Justru Sumpah Pemuda menjadi bisa betul-betul diakui dan ditaati secara bersama dengan sepenuh hati, kalau semua merasa dihargai setara.

Adanya persatuan bukan berarti menghilangkan skema tentang hierarki sosial atau stratifikasi. Persatuan bukanlah kesetaraan. Persatuan belum tentu menghilangkan skema tentang golongan atas dan golongan bawah. Tidak adanya kesetaraan tentunya akan berdampak pula terhadap kehidupan berpolitik, toleransi atau intoleransi. Ini akan terlihat jelas ketika kemerdekaan telah sama-sama direbut. Masing-masing golongan yang merasa paling benar konsepnya, akan memaksakan konsepnya supaya dijalankan oleh pemerintahan yang baru.

Kalau kita mau menelaah kebelakang, sebenarnya sebelum dan sesudah Sumpah Pemuda dikumandangkan, konsep tentang negara Indonesia akan seperti apa nantinya terpecah, setidaknya menjadi dua kubu besar. Pertama dari golongan nasionalis Islam yang diusung oleh Partai Sarekat Islam (PSI), dan yang kedua dari golongan nasionalis sekular yang diusung oleh partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir. Soekarno. GolonganNasionalisme Islam menghedaki negara Islam dan memakai Islam sebagai undang-undangnya, sedang golongan nasionalis sekular menghendaki Negara Pancasila.

Bagi golongan nasionalis Islam, konsep tentang negara Islam sudah menjadi keinginan yang tertanam sejak lama. Apalagi, wilayah jajahan Belanda adalah wilayah yang mayoritas penduduknya muslim. Pendapat mereka waktu itu, kalau Indonesia merdeka tentu hukum-hukum Islam pun akan berlaku. Oleh karena itu, yang dipentingkan pemimpin-pemimpin Islam saat itu bukanlah negara yang berdasarkan Islam, tetapi kemerdekaan Indonesia.

Jadi, tentu saja tujuan utama dari kubu Nasionalis Islam adalah negara Islam. Dalam kamus mereka, tujuan menggapai kemerdekaan adalah menciptakan prinsip hukum yang berdasarkan Islam.

Pertentangan antara nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler meningkat dalam sidang-sidang panitia persiapan kemerdekaan Indonesia. Persidangan pun berlangsung alot. Tetapi akhirnya mereka menghasilkan suatu kesepakatan berupa piagam jakarta. Pancasila yang akan dibentuk disetujui pula oleh golongan Nasionalis Islam sebagai dasar negara, tetapi di dalamnya ditambahkan satu ketentuan mengenai umat Islam, sehingga sila pertamanya berbunyi: Kepercayaan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban kepada Umat Islam Menjalakan Syariatnya.

Tetapi dikedepannya, isi perjanjian tersebut tidak dibacakan dan ditinggalkan. Sempat ada protes dari kalangan Nasionalis Islam, namun entah kenapa protes tersebut tidak begitu terdengar. Namun, permasalahan tersebut tentu saja belum selesai, hal tersebut masih menjadi permasalahan sampai saat ini.

Buruknya lagi, kini prinsip persatuan yang telah dilekatkan sejak Sumpah Pemuda justru kian pudar dan semakin terkikis. Ini bisa dilihat dari pertikaian antar etnis dan agama yang terjadi terus menerus sampai saat ini. Bahkan, permusuhan dan perpecahan sesama bangsa sendiri mulai nampak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa kita.

Apakah ini petanda pula kalau semangat Sumpah Pemuda sudah tidak bisa lagi menjadi simbol persatuan ? Dahulu, Sumpah Pemuda bisa menjadi simbol persatuan karena saat itu hanya dengan bersatulah Bangsa Indonesia dapat bebas dari penjajahan, dan hal tersebut memang terbukti. Kini musuh bersama itu telah lama hilang, sehingga perjuangan bersama itupun kian memudar. Padahal musuh bersama itu akan selalu saja muncul dengan kostum yang berbeda.

Seharusnya, untuk generasi muda saat ini Sumpah Pemuda sebagai simbol persatuan bukan malah ditinggalkan dan dilupakan. Tetapi apa yang telah diusung oleh generasi sebelumnya, ditambahkan sesuatu yang kurang darinya. Sehingga Sumpah Pemuda yang dulunya hanya menonjolkan persatuannya saja, kini menjadi sumpah pemuda satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, yang bertoleransi terhadap pluralisme dan yang menghargai kebebasan hak.

Dengan demikian, sumpah pemuda tidak kembali berulang dari awal, tetapi menjadi dialektika yang kontinum. Sehingga permasalahan disintegrasi bangsa yang ada saat ini, dapat kembali bersatu lewat semangat sumpah pemuda yang baru dan segar. Idhamsyah

Manusia; Otak, Kepribadian, dan Gen

Posted: October 20, 2008 in kesehatan

Manusia;

Otak, Kepribadian, dan Gen (Sebuah Perdebatan)

Anak-anak di Amerika Serikat biasanya selalu belajar untuk menghitung, walaupun mereka belum masuk Preschool. Faktanya pula, kemampuan untuk menghitung diperkirakan sebagai keahlian kognitif yang mendasar. Oleh sebab itu, orang yang rendah kemampuan menghitungnya sebaiknya harus disadari memiliki keterbelakangan mental (Lindolm, 2001). Benarkah pernyataan tersebut?

Allan Holmberg, antropolog dari Amerika, menemukan seorang anak yang tidak bisa menghitung angka ketiga. Hari ini, besok, dan lusa dia menyebutnya dengan hari ini, besok, dan saudara dari besok (the brother of tomorrow). Ini aneh, karena anak yang di teliti oleh Halmburg, selain permasalahan hitungan angka 3 dia tetap terlihat seperti anak normal lainnya.

Penemuan Holmberg sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa; pada masyarakat yang di teliti olehnya, daerah Amerika Tengah, setelah diteliti lebih dalam ternyata masyarakat lokal pada wilayah itu memang memiliki kapasitas yang sedikit untuk memikirkan angka secara abstrak (Lindolm, 2001). Apakah memang mereka memiliki kemampuan intelektual rendah dibandingkan kita? Apa mereka secara mental terbelakang? Penilaian hal tersebut cukup sulit untuk disimpulkan. Dari standarisasi mana kita menilainya, apakah dari standarisasi budaya kita (luar) atau budaya mereka (dalam).

Jauh menyebrangi samudra Pasifik, suku Dani dari Papua New Guinea memiliki persepesi yang berbeda tentang warna dari masyarakat lainnya. Cukup berbeda dengan penemuan Holmberg tentang kemampuan numerologi suatu suku di Amerika Tengah, di suku Dani mereka hanya melihat dua sisi warna yaitu hitam dan putih. Apakah persepsi yang sangat berbeda ini dapat dikatakan bahwa kemampuan mereka menangkap warna sangat terbelakang dibandingkan masyarakat modern?

Melanie P. Reyna dalam bukunya yang berjudul “Conection: brain, Mind, and Culture in a Social Anthropology”, menjelaskan kalau pelaku evolusi sebenarnya bukan hanya yang ada terlihat pada tubuh secara fisik, melainkan otak kita juga ikut berevolusi.[1]perubahan keadaan tubuh kita seperti apa, sebenarnya juga ikut mempengaruhi kapasitas berpikir dari otak. Tingkat kapasitas otak pun terbentuk sesuai dengan struktur budaya yang telah dijalani turun temurun. Bahkan sebenarnya, daya ingat kita ketika lahir ini sama sekali tidak berbentuk tabula rasa (Matt Ridley, 2005). Pada rangkaian kromosom 7, diduga kromosom ini membawa ide-ide nenek moyang mereka. “The Tabula of human nature was never rasa”, demikian yang di utarakan W.D. Hamilton. Buat Hamilton, mana mungkin suatu spesies yang sudah menjalani evolusi jutaan tahun, sama sekali tidak menurunkan sesuatu pada ide.

Daya pikir kita yang dihasilkan ini berasal dari hasil interaksi dengan lingkungan yang ada. Pola kehidupan berubah karena manusia berusaha menyesuaikan diri pada keadaan lingkungannya. Suku Dani di Papua berkebudayaan seperti itu karena keadaan lingkungan mereka masih bisa mereka atasi dengan keadaan seperti itu. Bentuk interaksi dari lingkungan sebenarnya tidak hanya membentuk budaya yang berada di luar melainkan juga naluri. Naluri ini terbentuk tidak hanya hinggap sementara pada tubuh tapi juga menetap dan berevolusi pada kromosom 7.

Hasil interaksi manusia dengan lingkungan lalu memakan makanan yang tersedia pada wilayah itu ikut juga berperan merangasang pola kerja metabolisme tubuh termasuk otak. Otak pun memerlukan cakupan gizi yang cukup. Telah diketahui, bahwa DNA otak tidak bertambah lagi sesudah berumur 6 bulan dan berat otak bertambah pesat pada tahun pertama (Brace & Livingstone, 1971). Kekurangan gizi akan menghambat pertambahan lingkaran kepala karena terhambatnya pertumbuhan otak dan dapat mencapai 2 simpangan baku di bawah ukuran rata-rata untuk anak-anak normal. Dalam hal ini sel otak, protein, RNA dan DNA otak juga berada di bawah normal. Akibatnya yang terjadi adalah terganggunya perkembangan kecerdasan.

Kekurangan gizi biasanya identik dengan kelaparan. Fenomena kelaparan sebenarnya juga suda sering terjadi dalam sejarah manusia. Kelaparan yang akut dapat menimbulkan kematian yang banyak dan juga penurunan fertilitas, yaitu kapasitas reproduktif yang nyata. Menurunnya kalori di bawah nilai tertentu, menyebabkan turunnya libido, oligospermia dan berkurangnya motilitas dan umur spermatozoa, penurunan fertilitas lebih hebat terjadi di kalangan pekerja kasar daripada pekerja kantor.

Kelaparan yang menahun akan menyebabkan adaptasi biologis. Populasi akan mengurangi biomassanya, yaitu jumlah berat badan seluruh populasi; jadi jumlah penduduk atau berat badannya akan berkurang, ataupun kedua-duanya, sehingga kalori yang diperlukan akan berkurang. Pertama-tama lemak akan berkurang, baik yang dekat permukaan maupun yang dalam, dan alat-alat dalam akan bertambah kecil. Perawakan ektomorf akan lebih banyak terdapat di dalam populasi daripada endomorf. Disamping itu, badan akan mengurangi aktivitasnya, sehingga ia memakai kalori lebih sedikit. Dengan perkataan lain populasi itu akan hidup pada tingkat energi yang lebih rendah dan pekerjaan-pekerjaan, yang diperlukan segera, tidak akan dilakukan (Jacob, 2000).

Tubuh manusia berkembang sesuai dengan apa di berikan olehnya. Struktur alam juga ikut mempengaruhinya. Manusia berbeda-beda karena mereka hidup pada kondisi alam yang berbeda-beda. Pola interaksi dengan alam tersebut membawa struktur tubuh untuk ikut berinteraksi. Bagaimana suatu organisme berhadapan dengan suhu yang kelewat menonjol, bagaimana mereka bergerak seputar lingkungan, makanan apa yang mereka makan, bagaimana mereka mendapatkannya, dan sebagainya.

Warna kulit menjadi ciri yang paling mudah dibedakan di mana kelompok manusia berbeda secara genetik. Hal itu disebabkan sejumlah gen. pigmentasi gelap barangkali memiliki keuntungan selektif terhadap sinar matahari di daerah tropis.Yang lebih mendekati ketepatan ialah adanya perubahan-perubahan dalam arah warna terang di daerah-daerah dengan sinar matahari lemah (F. Vogel & Motulsky, 1979). Sifat lain yang dapat diamati adalah berat badan, bentuk hidung, warna rambut, dan kesuburan rambut (Storza & Bodmaer, 1971).

Masalah cakupan gizi terhadap kapasitas mengkonsumsi makanan, akan sehatnya orang ini atau tidak, juga terpaut dengat ruang manusia tinggal dan beradaptasi di sana. Laporan tentang gizi sehat dan gizi kurang sehat pada suatu daerah tertentu belum tentu pula cocok dengan pada cocok pada daerah yang lain. Tubuh baradaptasi dengan struktur kehidupan manusia pada tempatnya, demikian pola makan dan pasokan gizi.

Para ahli gizi barat memiliki cukup bukti yang menunjukan bahwa tubuh manusia perlu berbagai vitamin dan mineral setiap harinya agar tidak menjadi korban dari penyakit defisiensi. Salah satunya penyakit akibat defisisensi adalah penyakit kudis yang banyak menyerang para pelaut, karena mereka hanya makan biskuit keras dan minuman berakohol, dan jarang makan sayuran dan vitamin yang banyak mengandung vitamin C. tetapi, di seluruh dunia, banyak suku bangsa yang selama berabad-abad hidup tanpa makan vitamin yang berkecukupan, tetapi tetap hidup sehat. Suku Indian Trahumara di Sonora Utara, Meksiko, suku Indian ini bisa berlari sejauh 25-50 mil setiap harinya di daerah dataran tinggi tanpa merasa kelelahan.

Yang lebih mengagumkan adalah kenyataan bahwa satu keluarga suku Indian Trahumara umumnya hanya makan seratus kilogram jagung setiap tahunnya, di mana setengah dari jumlah itu dibuat menjadi minuman semacam bir. Sumber nutrisi yang lain, seperti akar-akaran, hanya tersedia dalam jumlah kecil, dan terbatas pada musim panen saja. Kemampuan mereka untuk bertahan dengan nutrisi yang jauh di bawah standar tersebut menunjukan adanya fleksibelitas sistem pikiran-tubuh yang hampir tak terbatas. Ironisnya, adaptasi mereka begitu sempurna sehingga bila diet mereka diubah menjadi diet yang seimbang, yang ditunjang dengan vitamin dan mineral dalam jumlah cukup, sebagian dari mereka akan mulai terjangkit penyakit jantung, hipertensi, kelainan kulit, dan kerusakan gigi, yang belum pernah mereka alami, dan jumlah itu cukup banyak (Chopra, 2002).

Hidup normal dan tidak normal hanya sekedar zona di mana kita hidup. Ini bukan sebuah aturan tapi pilihan. Para pelari suku Indian Tarahumara, yang membawa pesan sepanjang Pegunungan Andes keseluruh kerajaan Inca, memiliki nilai normal yang berbeda dengan kita, nilai normal yang lebih cocok untuk cara hidup mereka. Yang ingin mereka lakukan, berlari lima puluh mil sehari, menurut mereka lebih penting dari sekedar norma-norma tubuh, meski pun diet mereka dianggap tidak memadai. Tanpa banyak bertanya, tubuh mereka beradaptasi dengan kecerdasan, dan bukan sebaliknya. Kebiasaan hidup barangkali bisa mempersulit adaptasi, meskipun pikiran menginginkan pikiran perubahan. Orang-orang yang kegemukan sebaiknya tidak melompat dari tempat duduknya untuk mengikuti lari maraton. Tetapi, kemampuan manusia untuk beradaptasi tidak bisa sepenuhnya diabaikan. Meskipun tubuh kita seperti komputer yang dilengkapi dengan ribuan mekanisme homeostatis, kita bisa mengubah keterampilan-keterampilan kita, melupakannya, melatih keterampilan baru, dan sebagainya.

Tubuh juga ikut berpikir dan berusaha menjawab dengan beradaptasi. Semua rangasangan yang diterima oleh tubuh, kemudian di kirim ke otak, di dalam otak rangsangan tersebut di olah kemudian di sebarkan kembali. Jalur yang ditempuh dalam tugas pengiriman ini mulai dari sistem syaraf pusat turun ke arah tulang belakang, di ujung atas tulang belakang, jalan akan bercabang ke kiri dan kanan; yang kemudian terpecah lagi menjadi jutaan jalur kecil yang menghubungkan setiap bagian tubuh manusia.

Transmiter- transmiter syaraf adalah pelari-pelari yang bergerak dari dan menuju otak, membawa berita ke setiap organ di dalam tubuh manusia, baik berupa emosi, keinginan, intuisi ataupun mimpi-mimpi. Tetapi, tidak satupun aktivitas tersebut tergantung hanya dari otak saja; tak satupun aktivitas yang hanya bersifat mental, karena mereka bisa dikodekan menjadi pesan-pesan kimiawi. Transmitter-transmitter syaraf menghidupkan setiap sel. Setiap kali sebuah pikiran ingin pergi, sejumlah senyawa kimiawi harus ikut pergi, karena tanpa mereka, tidak ada pikiran yang dapat dilepaskan. Berpikir merupakan latihan kimiawi otak, yang memicu reaksi di seluruh tubuh.

Sistem organisme yang bekerja pada tubuh manusia tidak murni bekerja secara bebas. Pikiran juga bisa ikut mengatur dan berperan dalam menentukan jalur-jalur tersebut. Dalam acara-acara ritual kebudayaan, atraksi-atraksi yang sifatnya melukai tubuh sering sekali ditemui. Seperti berjalan di atas api, atau menghunus senjata tajam ke badan atau ke tangan. Uniknya, seharusnya setelah melakukan hal tersebut tubuh mereka terluka dan mengeluarkan darah, tapi ternyata kejadian tersebut tidak mereka alami, tubuh mereka tetap normal tidak ada cacat. Menurut Cannon (1982) ini terjadi karena Kepercayaan mereka yang kuat dalam pikiran memaksa sistem syaraf yang bekerja sebagai pembawa berita sakit tidak berfungsi. Bahkan cannon menambahkan, perubahan kesadaran pada manusia juga ikut mempengaruhi sistem metabolisme tubuh. Cannon memperlihatkan bahwa ketakutan, dan juga kemarahan, berasosiasi dengan suatu aktivitas intensif khusus dalam sistem syaraf simpatetik. Aktivitas ini biasanya berguna, karena meliputi perubahan-perubahan organis yang membuat seseorang sanggup menyesuaikan diri dengan suatu situasi baru (Strauss, 97).

Setelah menyimak bentangan penjelasan tentang sistem melatbolisme pada tubuh, proses adaptasi, rangsangan berpikir dan pola berpikir pada manusia, akan sangat sulit menilai tentang intelektualitas pada tiap-tiap budaya manusia. Karena tiap-tiap budaya memiliki solusi dan jawaban yang berbeda untuk menjawab tantangan alam. Kebiasaan yang dilakukan pada suatu budaya, belum tentu pula biasa dilakukan pada budaya lainnya. Jika memang di Amerika Tengah, taraf kemampuan menghitung penduduknya rendah, ini karena mereka menjawab sebuah fenomena alam dan kehidupan bermasyarakat mereka tidak memerlukan proses menghitung.

Kita juga selalu menilai kemajuan dan tidaknya suatu masyarakat di lihat dari kacamata budaya kita. Padahal tiap kebudayaan memiliki kebiasaan yang berbeda. Apakah rakyat papua dan suku-suku primitif lainnya dapat dikatakan bahwa mereka sacara mental terbelakang? Suatu budaya adalah hasil dari faktor seleksi evolusi manusia. Jika keadaan alam sudah tidak mendukung pola hidup mereka seperti itu, dengan serta merta mereka pun akan berusaha untuk menyesuaikan diri kembali sesuai kebutuhan mereka. Idhamsyah

Referensi:

Berry, John W., Ype H. Poortinga, Marshall H. Segall, Pierre R. Dasen, Psikologi Lintas Budaya, ter. Edi Suhardono, Jakarta: Gramedia, 1999

Donald, Merlyn, A Mind So Rare: The Evolution of Human Consciousness, New York: W.W. Norton & Co., 2001

Reyna, Stephen P, Connections: Brain, Mind, and Culture in Social Anthropology, New York: Routledge, 2002

Carlson, Neil R, Physiology of Behavior, Allyn & Bacon, 2001

Ridley, Matt, Genom, terj. Alex Tri Kantono W, jakarta: Gramedia, 2005

Strauss, Claude Levi, Mitos, Dukun & Sihir, terj. Agus Cremers, santo Johanes, Yogya: Kanisius, 1997

Jacob, T, Antropologi Biologis, Departemen Pendidikan nasional, 2000

Charless Lindolm, Culture & Identity, McGraw Hill, 2001

Chopra, Deepak, Quantum Healing, terj. Lala Herawati Dharma, Bandung: Nuansa, 2002


[1] Penjelasan dari melanie ini tidak saya kutip langsung dari bukunya, tapi dari ulasan buku melanie oleh David Flynn; The Canadian review of Sociology and Anthroplogy; aug 2003; 40, 3; Proquest Psychology Journals